YOGYAKARTA. PCMSIMO.ORG. Pembagian zakat kepada delapan kelompok penerima sebagaimana disebut dalam QS at-Taubah (9): 60 bukanlah sekadar ajaran normatif, tetapi juga menjadi prinsip penting dalam membangun keadilan sosial umat.
Namun, di tengah perubahan zaman dan kompleksitas persoalan kemanusiaan, pemahaman atas siapa saja yang tergolong mustahik kini semakin dinamis dan menuntut penafsiran yang lebih kontekstual.
Hal ini disampaikan oleh Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Asep Sholahudin dalam Pengajian Tarjih yang berlangsung Rabu (9/7) di Yogyakarta.
Sebagaimana dilansir dari laman muhammadiyah.or.id, Asep menekankan pentingnya redefinisi mustahik zakat agar pengelolaan dana sosial umat tidak hanya bersifat karitatif, tetapi juga strategis dan transformatif.
“Realitas sosial terus berubah. Maka, distribusi zakat harus relevan dengan kebutuhan zaman. Kita perlu memahami mustahik tidak hanya sebagai individu, tetapi juga sebagai bagian dari problem struktural masyarakat,” ungkapnya.
Asep mengklasifikasikan penerima zakat dalam dua kelompok besar: mustahik individu dan mustahik publik.
“Mustahik individu mencakup mereka yang mengalami persoalan ekonomi secara langsung,” ucap Asep.
Dia menerangkan Fakir adalah mereka yang benar-benar tak memiliki penghasilan. Dalam konteks kini, ini termasuk difabel, lansia tanpa nafkah, korban bencana, hingga imigran terlantar.

Miskin kata dia, mereka yang punya penghasilan tetapi tak cukup untuk hidup layak—seperti keluarga miskin yang tidak mampu membiayai pendidikan atau kesehatan.
“Sedangkan Gharim, yaitu orang yang berutang karena kebutuhan mendesak, seperti biaya pengobatan atau pembangunan fasilitas umum,” ujarya
Selanjutya Ibnu Sabil, yakni pelancong atau perantau yang kehabisan bekal. Saat ini, ini bisa berupa mahasiswa rantau, pekerja migran, bahkan jemaah haji yang terlantar.
Untuk Amil, yaitu pengelola zakat resmi seperti BAZNAS dan LAZ yang berhak menerima bagian untuk mendukung biaya operasional.
Sedangkan Muallaf, mereka yang baru memeluk Islam atau kelompok yang strategis dalam penguatan dakwah.
Menurut Asep, mustahik publik lebih luas cakupannya. Dua kelompok yang masuk dalam kategori ini yakni Riqab, yang dalam konteks sekarang mencakup korban perbudakan modern, perdagangan manusia, buruh migran yang tereksploitasi, hingga pengungsi.
“Fi Sabilillah, yakni segala bentuk perjuangan demi kemaslahatan umum. Muhammadiyah menafsirkannya sebagai kegiatan strategis untuk membangun masyarakat, seperti pengembangan pendidikan, peningkatan kualitas SDM, hingga penguatan ekonomi umat,” terangnya lagi.
“Zakat dalam konteks fi sabilillah mencakup pembangunan sekolah, rumah sakit, pelatihan kewirausahaan, dan penguatan daya saing umat Islam,” jelas Asep.
Dikatakan, redefinisi mustahik ini menegaskan bahwa zakat tidak hanya dimaknai sebagai instrumen bantuan konsumtif, tetapi juga sebagai alat pemberdayaan yang berkelanjutan. “Distribusi zakat yang tepat sasaran akan berkontribusi langsung pada perbaikan struktur sosial dan pemberantasan kemiskinan secara sistemik,” tegasnya
Dengan memahami zakat sebagai jalan untuk menghidupkan nilai keadilan dan kemanusiaan, umat Islam diharapkan lebih proaktif dalam menjadikan zakat sebagai bagian dari solusi bangsa, bukan sekadar ibadah personal.
“Zakat bukan hanya soal membagikan harta, tetapi juga bagaimana kita menyalurkan energi kolektif umat untuk membangun peradaban yang adil dan berkemajuan,” pungkas Asep.

