NGAMPEL. PCMSIMO.ORG. Adzan bukan sekadar panggilan salat, melainkan seruan yang menyatukan umat Islam dalam satu ikatan keimanan dan ketaatan.
Inilah benang merah kajian rutin Ahad Pagi Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Ngampel yang digelar pada Ahad (6/7/2025) di Aula Kecamatan Ngampel. Dalam kajian kitab Bulughul Maram yang diampu oleh Ustadz Mustofa, adzan dibahas tidak hanya dari sisi fiqih, tetapi juga dari makna historis dan filosofisnya sebagai simbol awal persatuan umat.
“Adzan adalah penanda masuknya waktu salat, bukan sekadar seruan, tapi sebuah ajakan untuk kembali dari hiruk-pikuk dunia kepada keheningan sujud,” tutur Ustadz Mustofa membuka kajian.

Ia menekankan bahwa meski singkat, kalimat-kalimat dalam adzan sarat akan nilai keislaman yang mendalam.
Lebih lanjut, ia mengisahkan bahwa adzan pertama kali dikumandangkan di Madinah oleh sahabat Bilal bin Rabah, setelah Rasulullah SAW hijrah.
“Saat itu, umat Islam tengah mencari cara untuk memanggil salat tanpa meniru praktik agama lain. Lewat mimpi yang menjadi petunjuk ilahiah, Bilal kemudian mengumandangkan adzan atas izin Rasulullah, menandai dimulainya syariat adzan di tahun pertama Hijriah,” ungkap Ustadz Mustofa.

Dari titik historis itu, Ustadz Mustofa mengaitkan semangat persatuan dalam adzan dengan peluncuran Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) oleh Muhammadiyah.
“KHGT ini layaknya adzan dalam skala global, menyatukan umat dalam satu kalender Islam yang sama,” ujarnya merujuk pada peluncuran KHGT oleh PP Muhammadiyah di Convention Hall Masjid Walidah Dahlan, Universitas ‘Aisyiyah (UNISA) Yogyakarta pada 25 Juni 2025.
KHGT, lanjutnya, adalah hasil kajian bertahun-tahun sejak Konferensi Negara-Negara Islam di Turki tahun 2016. Turki dipilih karena menjadi simbol kejayaan peradaban Islam pada masa Utsmaniyah.
“Kalender ini bukan hanya keputusan administratif, tapi bentuk kesadaran sejarah. Muhammadiyah ingin menebus kemunduran peradaban Islam dengan langkah saintifik dan strategis,” katanya.
Ustadz Mustofa menyampaikan keprihatinan atas perbedaan awal puasa atau hari raya antar negara Islam. “Tanggalnya 1 Ramadhan, tapi kok harinya beda-beda? Bandingkan dengan kalender Masehi, tanggal 25 Desember selalu sama di seluruh dunia,” selorohnya, disambut senyum para jamaah.
Ia lalu mengupas sejarah penetapan awal tahun Hijriah di masa Khalifah Umar bin Khattab. Penetapan itu bermula dari kekhawatiran Amr bin Ash, Gubernur Mesir, terhadap tradisi jahiliah masyarakat setempat yang mengorbankan gadis perawan ke sungai Nil sebagai tolak bala.
“Suratnya kepada Umar bin Khattab kala itu belum bertanggal, yang mendorong lahirnya inisiatif penanggalan Islam. Setelah diskusi panjang, disepakatilah bahwa awal tahun Hijriah adalah momentum hijrahnya Rasulullah dari Mekah ke Madinah,” ungkapnya lagi.

Ustadz Mustofa menegaskan, hijrah adalah titik balik sejarah Islam. Peristiwa terberat Rasul dan para sahabat itu menjadi pijakan berdirinya masyarakat Islam pertama di Madinah.
Dalam penutup kajiannya, Ustadz Mustofa mengajak umat Islam untuk tidak terjebak pada mitos atau praktik yang tidak bersumber dari ajaran Islam.
Ia menyindir maraknya perayaan malam 1 Suro dan kegiatan serupa yang sering dianggap sakral, namun tidak berdasar pada tuntunan syariat.
“Adzan menyatukan umat. Kalender Hijriah Global juga untuk menyatukan umat. Mari kita kembali kepada semangat Islam yang murni dan memajukan,” pungkasnya.
Kajian ini menjadi pengingat bahwa persatuan umat Islam tak hanya dibangun melalui seruan spiritual, tetapi juga lewat kesepakatan dalam hal-hal praktis—seperti waktu ibadah dan kalender. Semangat Bilal yang mengumandangkan adzan, kini dihidupkan kembali dalam ikhtiar Muhammadiyah membangun satu kalender Islam untuk dunia. (rio)
Kontributor : Ario Bagus Pamungkas. Editor : Abdul Ghofur

